SEMANGAT YANG BERSINAR DARI PUNCAK BUKIT


jam 07.16
      Sebuah pesan masuk ke ucul (nama HP-ku) dan langsung aku buka. Oh, ternyata dari Istib, sesama sobat pengajar. Dia menanyakan posisiku. Langsung saja aku segera mengambil helm dan menghambur ke masjid kalijogo, tempat Istib menunggu.
      Pagi ini adalah jadwal kami mengajar ke SD Darsono IV. Tidak seperti biasanya udara pagi ini dingin sekali walaupun matahari bersinar dengan cerah. Perjalanan hampir setengah jam yang kami tempuh juga sebenarnya merupakan cerita biasa yang hampir selalu kami, para sobat pengajar, laksanakan tiap minggu.
     
Perjalanan mendaki menuju SD puncak bukit itu tidak berubah, kami tetap menempuh jalan yang licin berlumpur karena erosi air hujan. Sesampainya di SD Darsono, Istib meminta izin ingin sarapan dahulu di warung dekat "pintu gerbang" SD Darsono. Yah, aku pun setuju menemani istib sarapan berhubung murid-murid juga sepertinya baru masuk kelas, terbukti dari sayup-sayup suara murid yang sedang teriak-teriak melafalkan pancasila yang dikolaborasikan dengan doa pengantar belajar. Kami sesekali ngobrol dan berbagi cerita dengan Ibu paruh baya penjaga warung. lucunya, Istib seringkali tidak paham dengan apa yang aku obrolkan dengan Ibu penjaga warung itu, karena percakapanku yang menggunakan bahasa madura.
      Tiba-tiba, dari kejauhan kulihat pintu kelas 4 terbuka, murid-muridnya langsung keluar menyerbu kami. Seperti biasanya kebiasaan mereka, tangan kami langsung diciuminya dengan sekhidmat-khidmatnya.Tidak habis-habisnya aku tersenyum lebar, karena murid-murid yang ceria ini selalu bisa mengatur mood-ku menjadi lebih baik. Aku bertanya pada mereka,sekarang pelajaran apa. Seorang gadis manis berjaket mengatakan padaku bahwa sekarang waktunya olahraga, tapi dengan Pak Agus (salah satu guru disana) diganti menjadi acara kerja bakti dan tiap murid kelas 4 harus mencari tanah liat. Ternyata, tanah liat itu (beberapa murid menyebutnya tanah lumpur,beberapa murid yang lain menyebutnya tanah lempong) akan dibuat pot. Istib menimpali, " nyari tanahnya kemana?"
“Itu kak, di bawah dekat sungai.” Jawab seorang anak sambil cengar-cengir
Istib kemudian mengusulkan idenya padaku, bagaimana jika kami ikut menemani anak-anak yang mencari tanah liat. Eehmm, ide bagus dan aku setuju. Anak-anak juga sangat ingin kami ikut mereka. Tapi aku juga menyarankan kalau kami sebaiknya menemui para guru terlebih dahulu. Siapa tahu, kami malah diminta mengisi kelas yang kosong.
            Setelah Istib selesai sarapan, kami segera menemui pak Ari,satu-satunya guru yang mengajar di teras sekolah. Pagi itu, kelas 3 memang tidak mendapat “jatah kelas” sehingga harus belajar di bangku-bangku yang disusun di teras. Ternyata, kata Pak Ari, semua kelas sudah penuh diisi oleh gurunya masing-masing. Sekilas aku melihat beberapa siswa kelas 4 yang sedang melobi Pak Agus yang sedang menyiapkan plamir di kebun sekolah, supaya kami boleh menemani mereka mencari tanah liat. Sepertinya hasil lobbying itu sukses. Mereka dengan bersemangat langsung menggandeng tanganku dan Istib dan mengabarkan kalau kami boleh menemani mereka mencari tanah liat.
            Awalnya aku ragu-ragu. Aku tidak menyangka kalau acara mengajar pagi ini akan menjadi acara berpetualang mencari tanah liat bersama anak-anak. Darsono bukanlah desa yang memiliki akses jalan yang nyaman. Kontur desa ini didominasi oleh perbukitan dan jalan tak beraspal, alih-alih aspal justru dipenuhi bebatuan tajam yang menyusun jalanan. Aku dan Istib merasa kami salah kostum. Seharusnya kami memakai sepatu yang nyaman, misalnya sepatu kets atau sepatu boot, bukannya sepatu balerina seperti yang kupakai atau sepatu Kindergarthen yang dipakai Istib. Kami juga seharusnya paling nyaman memakai celana, bukannya rok panjang ini. Ah, tapi sudahlah, yang penting hati-hati saja dalam melangkah, asal niatnya baik, insya allah selamat pulang-pergi. Berkali-kali aku bertanya pada anak-anak letak sumber tanah liat itu. Jawaban mereka hampir semuanya sama bahwa lokasi tanah liat itu dekat, tidak sampai sungai, melewati rumah Yuli, dan lewat turun-turunan. Apapun informasi yang mereka berikan, aku tetap merasa bahwa standard jarak dekat orang desa tidak sama dengan standart jarak dekat orang yang tidak desa. Jadi, dari awal aku sudah mewanti-wanti mereka supaya kerja cepat dan sebelum jam 9 harus sudah sampai sekolah. Dan mereka setuju.
            Selama perjalanan itu, aku banyak belajar tentang sisi desa Darsono yang belum kuketahui. Yuli, siswa kelas 4  yang selama perjalanan selalu menggandeng lenganku dengan manja, bertingkah seperti layaknya guide dan aku turisnya.  Tidak henti-hentinya dia memperkenalkan rumah-rumah yang kami lewati dan menceritakan banyak hal, mulai dari tempat-tempat angker didesanya, jenis hantu yang sering menampakkan diri didesanya, sampai dukun santet yang ada di desanya. Hiburan yang menemani petualanganku kali ini ditambah dengan kayanya biodiversitas Darsono yang menyejukkan mata. Sebagai seorang Biologiwati, sesekali aku menghapalkan nama-nama ilmiah tumbuh-tumbuhan yang aku jumpai selama perjalanan.
            Perjalanan yang seru. Kami harus menyusuri jalanan desa yang berkelok-kelok, naik, turun, berbatu, becek, dan sebagainya. Namun, kasihan Istib. Dia sepertinya kelelahan sekali. Nafasnya terdengar ngos-ngosan dan membutuhkan air, sementara anak-anak menyemangati Istib untuk tetap bertahan. Untungnya aku tidak kelelahan. Aku sudah terbiasa mendaki seperti ini di pramuka. Hanya saja, aku kasihan dengan sepatu balerina satu-satunya yang sedang aku dzalimi ini. Kadang-kadang Istib berhenti sebentar untuk mengatur tenaganya lagi. Anak-anak kami suruh berangkat duluan, tidak usah menunggu kami, kecuali Yuli yang setia menunggui kami. Sesekali aku bergurau, kalau kami serasa sedang pijat refleksi gratis dengan bantuan batu-batu tajam di jalan.
            Akhirnya sampai juga di lokasi tanah liat. Aku cukup kaget karena lokasinya yang sangat tidak biasa. Ternyata anak-anak mengambil tanah liat itu dengan mengeruknya di tanah perakaran rumpun bambu yang letaknya lebih tinggi daripada jalan desa. Dengan menggunakan peralatan seadanya, mereka mewadahi tanah liatnya dengan daun jati yang mereka cabut di pinggiran jalan.Sejenak aku trenyuh karena mereka melakukan ini semua dengan tulus dan gembira.Tidak peduli baju seragam dan sandal mereka kotor, mereka berani memanjat tanah miring yang licin untuk memenuhi tugas dari gurunya.
            Setelah dirasa cukup,  kami pun kembali ke sekolah. Istib sempat menanyakan lokasi sumber air terdekat. Yuli dengan baik hati menawarkan kepada Istib untuk mengambilkan air, namun Istib bersikeras ingin ikut ke sumber air yang dimaksud. Akhirnya, dengan ditemani Yuli dan seorang murid laki-laki, Istib turun ke salah satu rumah penduduk untuk mengambil air sumber. Aku memilih tidak ikut karena sedang malas turun. Aku memilih untuk menunggu diatas bersama anak-anak kelas 4 yang tidak ikut turun sambil mengobrol santai bersama mereka. Setelah beberapa menit menunggu, Istib dan pengawal-pengawalnya kembali. Aku merasa sepertinya Istib tidak jadi minum, dan ternyata memang benar, Istib bercerita padaku bahwa dia tidak jadi minum air sumber karena airnya berwarna putih sehingga dia tidak berani meminumnya. Yah, akhirnya aku menyarankan dia untuk menumpang minum di rumah Yuli saja, berhubung Yuli sempat memintaku untuk mampir ke rumahnya. Namun, setidaknya Istib tampak lebih kuat daripada sebelumnya, mungkin karena jalan kembali yang kami lalui ini lebih mendatar daripada jalan sebelumnya.
          Kami semua sempat berfoto ria di sebuah pos kamling desa. Sempat mengincar pohon jambu yang tumbuh di halaman rumah Yuli, walaupun ternyata sudah tdak ada buahnya. Sempat melepas lelah juga di rumah Yuli yang sepi. Menurut Yuli,rumahnya selalu sepi karena bapaknya bekerja di sawah dan ibunya bekerja ditempat biting (aku tidak terlalu paham maksudnya apa). Namun, tiba-tiba seorang nenek datang menyambut kami, yang ternyata beliau adalah nenek Yuli. Beliau segera menyiapkan beberapa gelas dan sepertinya hendak membuatkan kami teh. Langsung saja, Istib dan aku menolak halus. Dengan menggunakan bahasa madura halus sebisanya, aku meminta untuk disuguhi air saja. Kata Istib, air yang diaminum rasanya segar sekali seperti berasal dari kulkas.
            Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan kembali kami. Istib langsung memimpin jalan di depan. Dia nampak lebih kuat dan bersemangat daripada sebelumnya. Anak-anak dan aku tertawa melihat Istib. Bahkan Yuli pun menyeletuk, “ kak istib kalau lagi gak kuat, ada di belakang. Tapi kalau datang sehatnya, langsung jalan di depan.”
            Sesampainya di SD Darsono, giliran anak-anak kelas 5 yang berlari menyerbu kami. Suhai, Ica, kapten, profesor ali, dan kawan-kawan langsung menciumi tangan kami bergantian. Mereka bahkan meminta kami untuk mengisi kelas mereka. Tidak mau kalah, anak-anak kelas 4 juga meminta kami untuk mengajar. Hehehe, padahal kepala sekolah meminta kami untuk mengisi kelas1 dan kelas 3. Akhirnya, dengan bantuan pak Halim untuk membujuk anak-anak, akhirnya aku jadi mengisi kelas tiga, sedangkan Istib mengisi kelas 5.
            Kelas 3 di SD Darsono terkenal sebagai kelas yang didominasi dengan anak-anak yang susah diatur. Aku pernah mengisi kelas ini dan aku setuju dengan hal itu. Begitu memasuki kelas tiga, murid-murid didalamnya sangat rame dan asyik dengan kegiatan mereka sendiri. Mereka bahkan acuh ketika aku memasuki kelas. Setelah meletakkan tas dan menghapus papan tulis, aku pun langsung berdiri di depan mereka dan melambaikan tangan.
“Haiii....!” kataku
Serempak mereka menjawab, “Hallooo....”
“hallo...!” kataku lagi
“hai....!” jawab mereka.
Oke, cukup kondusif.Aku segera mengambil penggaris dan bertanya pada mereka, “anak-anak, kalian tau Inggris tidak?”
Sebagian besar menggeleng, sebagian kecil sibuk sendiri, dan aku bertanya lagi,
“ tau gak, Inggris itu ada dimananya Indonesia?”
Respon tetap sama.
Kemudian aku menunjuk pada peta dunia yang tergantung di dinding kelas. Kutunjuk negara Indonesia dan menyampaikan bahwa aku dan mereka sedang tinggal disitu. Anak-anak tampak tertarik dan semua berhenti dengan aktivitasnya masing-masing,mereka semua memperhatikan aku. Kemudian aku menunjuk negara inggris, ku sampaikan bahwa negara Inggris sangat jauh dan lebih jauh daripada mekkah. Sederhananya, kalau mereka ingin pergi ke Inggris, mereka akan melewati mekkah. Sedangkan jika mereka ingin naik haji ke mekkah, pesawat mereka tidak perlu lewat  Inggris. Kemudian aku bertanya lagi, “ kalian ingin naik pesawat ke Inggrisgak?”
“GAAAKK!! JAUH KAK!”
            Yaaahh, parah deh kalau begini, pikirku
Namun tetap kusampaikan bahwa hari ini mereka akan belajar bahasa Inggris bersamaku dan ternyata mereka meresponnya dengan senang hati.
            Aku menuliskan huruf alfabet di papan. Belum selesai aku menulis, seorang anak langsung menginterupsi, “Kak, ini sudah diajari dengan Kak Istib!”
“iya, gak papa. Tapi kak Ica ingin nyanyi sama kalian. Kalian mau nyanyi tidak?”
“ MAUUUU!!!!” aku pun melanjutkan tulisanku di papan.
Setelah rampung, aku bertanya pada mereka cara pelafalan alfabet-alfabet itu dalam bahasa Inggris.
“ A dibaca apa anak-anak?”
“ eii..!”
“ kalau B?”
“biii..!”, dan seterusnya lancar kecuali di huruf tertentu misalnya
“ kalau H bacanya gimana?”
“ Hi.... “
“ bukan hi, tapi eich”
Atau, “ W dibaca apa..?”
“ Wiii..!! “
“bukan wi, tapi dabelyuu...”
Mengajarkan hal ini memang butuh ketelatenan. Tidak lupa aku menyuruh mereka untuk menuliskan lagu sederhana ini di buku mereka. ternyata rasa ingin tahu mereka sangat tinggi. Satu persatu anak menanyakan cara pengucapan huruf inggris yang benar dan dengan inisiatif sendiri mereka menuliskan cara pengucapan itu dibawah tiap huruf. Setelah dirasa cukup, barulah kuajak mereka melafalkan alfabet-alfabet itu dalam bentuk nyanyian.
“ ei bi si di i ef ji eich ai jei kei el em en o pi kyu ar es ti yu vi dabelyu eks wai zi, ai lov inglis alfabet, ai lov inglis alfabet...” berulang-ulang. Lagi, lagi, dan lagi.
            Walaupun pita suara ini terforsir habis-habisan tapi aku senang. Menyanyi bersama anak-anak kelas tiga membawa cerita sendiri bagiku. Bayangkan, ketika kami menyanyi ada saja tingkah mereka yang di luar dugaan. ada yang serius, ada yang mengkolaborasikannya dengan lagu-lagu sholawat dan lagu madura, ada yang mengiringi dengan  pukulan “gendang” ala mereka, ada yang menyanyi sambil menyusun balok-balok kayu di atas kursi yang terbalik, dan ada yang menginterupsi nyanyian ini dengan sedikit tragedi perkelahian anak-anak.
            Sebenarnya, aku ingin mengajarkan lagi satu lagu nasional. Tapi berhubung kelas tiga sangat kritis terkait waktu, akhirnya anak-anak mengingatkanku bahwa sudah tiba waktunya pulang. Ya sudah, aku meminta mereka menyanyi lagu alfabet inggris sekali lagi, lalu aku bolehkan mereka menyiapkan diri untuk pulang. 
            Saat Istib dan aku pulang. Anak-anak dari kelas lima dan empat masih mengawal kami turun bukit. Aku dikawal oleh Yuli, Suhai, dan seorang gadis tomboy dari kelas 5, sedangkan Istib sepertinya dikawal oleh siswa-siswi dari kelas 4. Kami saling bercerita banyak hal. Kuberitahu Yuli cara menghitung umur manusia, karena dia ternyata belum tahu umurnya sendiri walaupun dia tahu tanggal kelahirannya. Sementara, iseng-iseng Suhai bertanya padaku, “ kak Ica, kalau Kak istib itu kuliah apa?”
“ kalau Kak Istib itu kuliah di Kedokteran gigi, nanti lulusnya jadi dokter gigi.” Jawabku.
Suhai terkagum-kagum mendengarnya dan bilang kalau dia juga ingin jadi dokter. Jadi,kukatakan kalau dia ingin jadi dokter, dia harus kuliah. Setelah lulus SD,harus melanjutkan ke SMP, SMA, lalu kuliah di unej jurusan kedokteran gigi (hehe). 
Bahkan saat Istib dan aku akan mengambil sepeda motor yang kami titipkan di rumah penduduk, anak-anak masih setia menemani kami. Mereka mencium tangan kami lamaa sekali; dan mengatakan pada kami, bahwa mereka tanpa kakak-kakak dari unej mengajar, mereka susah konsentrasi dalam belajar. Sejak itu, harapanku semakin bertambah besar, bahwa siapapun kita, para sobat pengajar dari angkatan ke angkatan mampu memenuhi keinginan mereka, anak-anak puncak bukit.

salam mengabdi
Kunti Anis A. (SP angkatan I unej mengajar)

Komentar

  1. membaca cerita sobat, seperti ada gemuruh dari dalam. ingin ikut mengikuti program ini.. :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGUMUMAN LOLOS SELEKSI BERKAS OPEN RECRUITMENT SOBAT PENGAJAR 13

PENGUMUMAN LOLOS TAHAP MICROTEACHING 1 OPEN RECRUITMENT SOBAT PENGAJAR 13 UKM UNEJ MENGAJAR

Pengumuman Lolos Seleksi Tahap Wawancara Calon Sobat Pengajar 13